KOPI - Sebagian kita mungkin masih ingat dengan peristiwa Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla "bertukar" pakaian daerah saat menghadiri Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD pada Rabu (16/8/2017). Presiden Jokowi saat itu mengunakan pakaian adat khas Bugis, Sulawesi Selatan, tempat kelahiran Wapres Jusuf Kalla. Sementara, Jusuf Kalla mengenakan pakaian adat khas Jawa, kampung halaman Presiden Jokowi. Melalui bertukar baju khas daerah tersebut, Presiden Jokowi dan Wapres Kalla seakan-akan ingin mengingatkan kita anak bangsa ini kembali, bahwa kemerdekaan bangsa ini diperjuangkan oleh kita yang bersuku-suku. Dan sejak 72 tahun yang lalu, kita semuanya sudah sepakat untuk menjadi satu kesatuan, suka dan duka tetap bersama di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kesadaran mendalam yang telah diperlihatkan oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa tersebut, sudah sepantasnya menjadi motivasi kita semua untuk mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Dan keinginan mulia ini, menjadi semangat bagi Presiden Jokowi untuk melahirkan program “BBM Satu Harga”. “Ini bukan masalah untung dan rugi. Ini masalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Saya mau ada keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga harganya sekarang di seluruh kabupaten yaitu 6.450 rupiah per liter untuk premium," tegas Presiden Jokowi.
Masih ingatkah kita satu tahun yang lalu? sebelum program “BBM Satu Harga” ini diluncurkan, beberapa daerah di Indonesia masih merasakan harga BBM yang sangat tinggi, misalnya saja Kecamatan Ilaga, Papua, perliternya berkisar antara Rp.50.000-Rp.100.000, hal yang serupa juga dialami oleh warga di Kecamatan Anggi, Papua Barat dengan harga perliter BBM Rp.15.000-Rp.30.000. Ironisnya harga BBM yang tinggi tersebut, telah lama dirasakan oleh saudara-saudara kita di Papua, Papua Barat dan Kalimantan. Bila kita berandai-andai sekarang, misalnya daerah tempat tinggal kita sendiri yang langsung mengalami harga BBM yang tinggi, mungkin kita akan marah, kecewa dan sebagainya.
Timbul pertanyaan, apakah masyarakat Papua, Papua Barat dan Pulau Kalimantan yang telah lama merasakan harga BBM tinggi (mahal), mereka merasa suka, senang dan rela dengan harga BBM yang tinggi tersebut? Tentu saja jawabannya mereka juga tidak senang dan tidak suka atas kondisi tersebut. Namun, keadaanlah yang memaksa mereka untuk bertahan dan menerima harga BBM apa adanya.
Maka, sangat pantaslah mereka kini berbahagia dengan kebijakan BBM Satu Harga. Simak, apa pendapat warga Papua terhadap kebijakan Presiden Jokowi tersebut. Luther Rumpaidus salah seorang warga Papua sangat bersyukur dengan kebijakan 'BBM Satu Harga', ia langsung sumringah. Kebahagiaan tak bisa disembunyikannya. Hal yang serupa juga dirasakan oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe misalnya. Apresiasi tertinggi ia sampaikan kepada Presiden Jokowi. "Ini luar biasa. Sejak Papua berintegrasi dengan Indonesia, harganya sudah seperti itu. Ini keputusan yang luar biasa dan bijaksana bagi orang Papua" Kata Lukas seraya berjanji dan siap mengawal dan mensukseskan program 'BBM Satu Harga'.
Optimalisasi Jaringan Distribusi BBM, Kunci Sukses Program “BBM Satu Harga”
Pelaksanaan Program “BBM Satu Harga” tidaklah semudah yang dibayangkan banyak orang. Berbagai kendala hadir dan harus dihadapi, terutama tantangan utamanya ialah minimnya infrastruktur menuju daerah sasaran. Berbagai moda transportasi harus digunakan Pertamina untuk menjangkau daerah-daerah terpencil, mulai dari truk tangki, kapal tanker, kapal kecil, hingga pesawat.
Keterbatasan infrastruktur itu membuat biaya distribusi BBM yang ditanggung Pertamina jadi mahal sekali. Misalnya saja, untuk mengirim BBM ke 10 kabupaten/kota dengan volume masing-masing 30 Kiloliter (KL) sekarang saja Pertamina sudah nombok Rp 800 miliar per tahun. Karena itu, pertamina harus menyiapkan dana sebesar Rp 5 triliun untuk 'subsidi' Program BBM Satu Harga. Ini dana dari kas Pertamina sendiri, bukan dari APBN. "Kalau perhitungan kasar, kita butuh sekitar Rp 5 triliun tahun ini (untuk Program BBM Satu Harga)," kata SVP Fuel Marketing Distribution, Gigih Wahyu Hari Irianto, dalam diskusi di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Selasa (4/4/2017).
Keterbatasan infrastruktur tersebut sangat mempengaruhi kelancaran dan kelanggengan dari program BBM Satu Harga. Oleh karena itu, peran serta pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam pembangunan infrastruktur pendukung program BBM Satu Harga sangat diharapkan. Dengan terbangunnya infrastruktur tersebut, maka optimalisasi jaringan distribusi bbm akan terwujud, dan kesuksesan serta kelanggengan program ini juga akan tercipta. Pemerintah daerah harus mampu mencari sumber-sumber dana sesuai dengan kewenangan yang diamanahkan dalam Undang-Undang Otonomi Daerah. Misalnya dengan program kemitraan antara pemerintah daerah, pemerintah pusat dan BUMD/BUMN serta lembaga lainnya atau strategi lain yang dipandang sesuai untuk diterapkan.
Pemerintah daerah, pemerintah pusat, BUMD/BUMN, lembaga lainnya dan kita semua harus memiliki komitmen yang kuat untuk ikut serta dalam mendukung dan melaksanakan program BBM Satu Harga ini, bukankah kemudahan memperoleh BBM juga menjadi salah satu faktor penggerak roda perekonomian daerah? Karena itu, sudah semestinya, kita semua memiliki kesadaran yang sama bahwa 'BBM Satu Harga' adalah upaya menunaikan amanat rakyat yang sama-sama punya hak sebagai Warga Negara Indonesia. Semoga.
Artikel Lainnya:
Artikel Lainnya: