Oleh: Ahmad Muhaimin
Sudah hampir tujuh bulan lebih ponsel butut Rustam tidak mengeluarkan bunyi apa-apa. Biasanya, sabtu menjelang magrib pasti anak laki-lakinya yang di rantau akan menelpon, iseng-iseng menanyakan kabar, atau sekadar bertanya sudah makan atau belum. Tapi sepenuh senja bulan-bulan ini tidak ada satupun suara anaknya yang mencuat melalui speaker ponselnya yang butut itu.
Rustam sendiri tidak terlalu bisa menggunakan ponsel butunya, paling hebat juga mencari daftar nomor telepon lalu menelpon nomor yang sudah dicarinya itu, atau mengangkat sambungan telepon dari seberang saat ponselnya bersuara gaduh. Untuk urusan mengirim SMS, dia tidak mengerti sama sekali.
Setelah menatap nanar ponsel jelek berwarna hitam di permukaan meja di hadapannya, akhirnya ia melangkah menuju dapur dengan kepala penuh sambil sibuk membenarkan letak pecinya yang miring. Sejak shalat Subuh usai, peci hitam yang bagian pinggirnya sudah menguning lusuh itu masih melekat di kepalanya. Di dapur, ia langsung membuat teh dengan sedikit gula untuk menghangatkan tubuh, dan menenangkan hati yang sedang gaduh.
Tidak lama berselang, ia kembali lagi, menghampiri jendela kayu yang terletak di dinding ruangan tamu sebalah kanan, jempol dan jari telunjuk sebelah kiri membentuk setengah lingkaran, menempel erat di gelas yang hanya terisi setengah bagian. Tangan kanannya terjulur ke depan meraih pengunci jendela, lalu ditarik ke atas dan digeser sedikit ke sebelah kanan. Setelah itu, jendela kayu berwarna cokelat tua yang mulai pudar ia dorong perlahan. Halaman rumah, pohon-pohon dan setapak jalan tanah berbatu masih terlihat samar-samar.
Rustam menutup jendela itu lagi. Angin yang berembus cukup menggigit kulit leher yang tak terlindung syal atau kerah jaket yang tebal.
Umi yang duduk dengan mukena yang belum lepas hanya diam, ia tidak bertanya apa-apa, bukan karena tidak mau, tapi takut kalau ia salah lagi. Sepertinya tidak ada kebagaiaan yang ia rasakan setelah empat tahun menikah dengan Rustam. Jangankan kebahagiaan dan kepuasaan hidup, sepenggal senyum saja selalu nampak redup.
Dulu, laki-laki itu sudah berjanji akan banyak hal, tapi kini tidak ada satu dua dari ucapannya yang ditepati, janji antah berantah itu kini menjadi mati. Umi memang terlalu sabar hidup dengan laki-laki itu, entah karena rasa cinta, atau sebab terpaksa karena takut akan dosa.
Semenjak empat tahun setelah menikah, Sifat Rustam menjadi sedingin es batu. Karena impiannya untuk menenangkan suara tangis di buta malam sudah sirna, impiannya saling menyalahkan tentang siapa yang harus menenangkan si buah hati semakin tak bisa, ia menjadi setega itu yang seharusnya selalu siap menopang beban. Empat tahun setelah pernikahannya itu, tak ada satupun tanda-tanda perut istrinya akan membesar.
Bertahun-tahun kemudian, Rustam mengadopsi anak perempuan adiknya sendiri, diurus sampai besar, dicukupi segala kebutuhan hidup dengan segala kemewahan. Tak berselang lama, giliran Umi yang mengadopsi anak laki-laki dari adik perempuannya. Sayangnya, setelah besar, kedua anak yang sesungguhnya adalah keponakan sendiri itu tidak tahu terimakasih, jangankan berbakti dan balas budi, sekadar disuruh untuk membelikan sayur di warung saja tidak pernah berangkat. Rustam selalu uring-uringan kalau mendengar anak angkatnya itu diperintah oleh istrinya yang tidak pernah disayang dengan kata-kata halus. Lagi-lagi, Umi lah yang harus terkena omongan yang selalu menukik dari suaminya yang tak pernah bersikap baik.
Apa enaknya hidup dengan seratus bentakkan setiap harinya? Seperti ini seperti itu tetap salah. Mungkin senandung cinta dan doa yang membuat hati Umi sekuat baja dalam menjaga bahtera rumah tangganya.
Dan pada akhirnya, Rinda, anak angkat perempuannya itu menikah setelah umurnya genap di angka dua puluh. Tambah-tambah setelah menikah, sama sekali ia tak pernah memikirkan kondisi ibunya yang ringkih. Ibarat kata setelah makan tak pernah mau mencuci piring, seperti itul